Saya
pernah menempuh pendidikan di sekolah milik Cosmas Batubara, tokoh
eksponen’66 yang menghadiri rapat di rumah Fahmi Idris yang juga
dihadiri Sofyan Wanandi. Rapat mana untuk pertama kalinya Benny Moerdani
mengungkap rencana menggulingkan Presiden Soeharto melalui kerusuhan
rasial anti Tionghoa dan Kristen (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi,
Penerbit Mizan, hal. 316).
Salah satu kegiatan wajib di sekolah
milik Cosmas Batubara adalah melakukan retreat dan tahun ajaran
1992-1993, seluruh siswa kelas 5 SD retreat selama lima hari di sebuah
wisma sekitar Klender yang lebih mirip asrama daripada tempat retreat.
Kerusuhan Mei 1998 |
Wisma lokasi retreat tersebut sudah sangat tua dan berdesain khas
gedung tahun 1960an. Sejak awal menjejakan kaki di sana saya sudah
merasakan aura yang tidak enak dan ini sangat berbeda dari lokasi
retreat lain seperti Maria Bunda Karmel di puncak.
Adapun
kegiatan selama retreat lebih menekankan kepada kedisiplinan dan melatih
mental sehingga setiap kamar tidak ada kipas angin atau AC, dan selama
retreat kami dipaksa bangun jam 4 pagi ppadahal baru tidur rata-rata jam
11 malam, ada puasa sepanjang hari, berdoa semalam suntuk dan ada
beberapa kegiatan yang tidak lazim seperti diminta mencium dan mengingat
bau bumbu masakan atau bunga yang disimpan dalam beberapa botol kecil
selanjutnya mata ditutup dan setiap anak akan disodori botol-botol tadi
dan diminta menebak bau/wangi apa.
Puluhan tahun kemudian saya
membaca bahwa pada tahun 1967 tempat pendidikan Kaderisasi Sebulan
(Kasebul) milik Pater Beek dipindahkan ke Klender, Jakarta Timur yang
memiliki tiga blok, 72 ruangan dan 114 kamar tidur. Apakah lokasi yang
sama Kasebul dengan tempat retreat adalah tempat yang sama? Saya tidak
tahu.
Puluhan tahun kemudian saya masih ingat pengalaman selama
lima hari yang luar biasa melelahkan tersebut padahal saya tidak ingat
pengalaman retreat saat di Maria Bunda Karmel, dan karena itu saya
menjadi paham maksud Richard Tanter bahwa metode Kasebul yang melelahkan
jiwa dan raga tersebut pada akhirnya akan menciptakan kader yang
sepenuhnya setia, patuh kepada Pater Beek secara personal, menjadi
orangnya Beek seumur hidup dan bersedia melakukan apapun bagi Pater Beek
sekalipun kader tersebut sudah pulang ke habitat asalnya.
Apakah Kasebul masih dilakukan hari ini mengingat kekuatan Katolik dan
Paus di Roma sudah tidak sekuat puluhan tahun silam, namun saya yakin
Kasebul masih ada setidaknya tahun 1992-1993 sebab Suryasmoro
Ispandrihari mengaku kepada Mujiburrahman bahwa tahun 1988 dia pernah
ikut Kasebul dan diajarkan untuk anti Islam, pernyataan yang dibenarkan
oleh Damai Pakpahan, peserta Kasebul tahun 1984. Oleh karena itu saya
tidak bisa sepenuhnya menyalahkan murid-murid pertama Pater Beek seperti
Jusuf Wanandi, dan Sofyan Wanandi di CSIS bila mereka sampai hari ini
tidak bisa melepas karakter Ultra Kanan untuk melawan Islam,
bagaimanapun begitulah didikan Pater Beek, tapi tetap saja mereka tidak
bisa dimaafkan karena mendalangi Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan harus
diproses secara hukum.
Upaya menggerakan massa untuk jatuhkan
Presiden Soeharto bisa dianggap dimulai pada tanggal 8 Juni 1996, ketika
Yopie Lasut selaku Ketua Yayasan Hidup Baru mengadakan pertemuan
tertutup dengan 80 orang di Hotel Patra Jasa dengan tema “MENDORONG
TERCIPTANYA PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP REZIM ORDE BARU DI DAERAH-DAERAH”
yang dihadiri antara lain oleh aktivis mahasiswa radikal, tokoh LSM,
mantan tapol, Sofyan Wanandi-Megawati Soekarnoputri-Benny Moerdani.
Tidak berapa lama kemudian, operasi Benny Moerdani untuk meradikalisasi
rakyat dengan tujuan “mendorong” mereka bangkit melawan Presiden
Soeharto dimulai ketika pada tanggal 22 Juni 1996, Dr. Soerjadi, orang
yang pada tahun 1986 pernah diculik Benny Moerdani ke Denpasar dan
akhirnya menjadi Ketua PDI periode 1986-1992 dengan diperbantukan Nico
Daryanto dari CSIS dan bekerja di bank milik kelompok usaha Sofyan
Wanandi yaitu Gemala Grup dan akhirnya menjadi Presiden Direktur PT Aica
Indonesia, akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PDI menggeser boneka
Benny Moerdani untuk menggantikan Presiden Soeharto yaitu Megawati
Soekarnoputri dalam kongres yang juga dibiayai oleh Sofyan Wanandi.
Adapun menurut kesaksian Alex Widya Siregar, terpilihnya Megawati
Soekarnoputri pada munas tahun 1993 adalah karena Direktur A Badan
Intelijen ABRI waktu itu yaitu Agum Gumelar menggiring peserta munas ke
Hotel Presiden sambil ditodong pistol dan mengatakan “Siapa tidak
memilih Megawati akan berhadapan dengan saya.” Belakangan diketahui
bahwa Agum Gumelar adalah salah satu anak didik yang setia kepada Benny
Moerdani dan bersama Hendropriyono menerima perintah untuk seumur hidup
menjaga Megawati Soekarnoputri.
Sebulan kemudian pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan ke kantor PDI oleh massa Dr. Soerjadi menghantam massa PDI Pro Mega yang sedang berorasi di depan kantor PDI, dan Megawati telah mengetahui dari Benny Moerdani bahwa penyerbuan akan terjadi namun dia mendiamkan sehingga berakibat matinya ratusan pendukung Megawati dan menelan korban harta dan jiwa dari rakyat sekitar. Pada hari bersamaan Persatuan Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Daniel Indrakusuma alias Daniel Tikuwalu, Sugeng Bahagio, Wibby Warouw dan Yamin mendeklarasikan perubahan nama menjadi Partai Rakyat Demokratik yang mengambil tempat di YLBHI, dan selanjutnya pasca Budiman Soejatmiko dkk ditangkap, pada Agustus 1997 PRD deklarasikan perlawanan bersenjata.
Hasil karya CSIS-Benny Moerdani-Megawati dalam Kudatuli antara lain: berbagai gedung sepanjang ruas jalan Salemba Raya seperti Gedung Pertanian, Showroom Auto 2000, Showroom Honda, Bank Mayapada, Dept. Pertanian, Mess KOWAD, Bus Patas 20 jurusan Lebak Bulus - Pulo Gadung, bus AJA dibakar massa. Sepanjang Jl. Cikini Raya beberapa gedung perkantoran seperti Bank Harapan Sentosa dan tiga mobil sedan tidak luput dari amukan massa dll.
Sebulan kemudian pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan ke kantor PDI oleh massa Dr. Soerjadi menghantam massa PDI Pro Mega yang sedang berorasi di depan kantor PDI, dan Megawati telah mengetahui dari Benny Moerdani bahwa penyerbuan akan terjadi namun dia mendiamkan sehingga berakibat matinya ratusan pendukung Megawati dan menelan korban harta dan jiwa dari rakyat sekitar. Pada hari bersamaan Persatuan Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Daniel Indrakusuma alias Daniel Tikuwalu, Sugeng Bahagio, Wibby Warouw dan Yamin mendeklarasikan perubahan nama menjadi Partai Rakyat Demokratik yang mengambil tempat di YLBHI, dan selanjutnya pasca Budiman Soejatmiko dkk ditangkap, pada Agustus 1997 PRD deklarasikan perlawanan bersenjata.
Hasil karya CSIS-Benny Moerdani-Megawati dalam Kudatuli antara lain: berbagai gedung sepanjang ruas jalan Salemba Raya seperti Gedung Pertanian, Showroom Auto 2000, Showroom Honda, Bank Mayapada, Dept. Pertanian, Mess KOWAD, Bus Patas 20 jurusan Lebak Bulus - Pulo Gadung, bus AJA dibakar massa. Sepanjang Jl. Cikini Raya beberapa gedung perkantoran seperti Bank Harapan Sentosa dan tiga mobil sedan tidak luput dari amukan massa dll.
Selanjutnya pada hari Minggu,
18 Januari 1998 terjadi ledakan di kamar 510, Blok V, Rumah Susun Johar
di Tanah Tinggi, Tanah Abang sesaat setelah jam berbuka puasa yang
membuat ruangan seluas 4 x 4 meter tersebut hancur berantakan.
Langit-langit yang bercat putih porak-poranda, atap ambrol, dinding
retak, salah satu sudut jebol dan di sana sini ada bercak darah. Menurut
keterangan Mukhlis, Ketua RT 10 Tanah Tinggi bahwa Agus Priyono salah
satu pelaku yang tertangkap saat melarikan diri, ditangkap dalam kondisi
belepotan darah dan luka di bagian kepala dan tangannya, sementara dua
lainnya berhasil kabur. Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menemukan:
10 bom yang siap diledakan, obeng, stang, kabel, botol berisi belerang,
dokumen notulen rapat, paspor dan KTP atas nama Daniel Indrakusuma,
disket, buku tabungan, detonator, amunisi, laptop berisi email dan lain
sebagainya. Dari dokumen tersebut ditemukan fakta bahwa Hendardi, Sofyan
Wanandi, Jusuf Wanandi, Surya Paloh, Benny Moerdani, Megawati terlibat
dalam sebuah konspirasi jahat untuk melancarkan kerusuhan di Indonesia
demi gulingkan Presiden Soeharto.
Temuan tersebut ditanggapi
Baskortanasda Jaya dengan memanggil Benny Moerdani (dibatalkan), Surya
Paloh dan kakak beradik Wanandi dengan hasil:
1. Surya Paloh
membantah terlibat dengan PRD namun tidak bisa mengelak ketika ditanya
perihal pemecatan wartawati Media Indonesia yang menulis berita mengenai
kasus bom rakitan di Tanah Tinggi tersebut.
2. Jusuf Wanandi dan
Sofyan Wanandi membantah terlibat pendanaan PRD ketika menemui
Bakorstanas tanggal 26 Januari 1998, namun keesokan harinya pada tanggal
27 Januari 1998 mereka mengadakan pertemuan mendadak di Simprug yang
diduga rumah Jacob Soetoyo bersama Benny Moerdani, A. Pranowo, Zen
Maulani dan seorang staf senior kementerian BJ Habibie dan kemudian
tanggal 28 Januari 1998, Sofyan Wanandi kabur ke Australia yang sempat
membuat aparat berang dan murka. Sofyan Wanandi baru kembali pada bulan
Februari 1998.
Bersamaan dengan temuan dokumen penghianatan CSIS
dan Benny Moerdani tersebut, dan fakta bahwa Sofyan Wanandi menolak
gerakan “Aku Cinta Rupiah” padahal negara sedang krisis membuat banyak
rakyat Indonesia marah dan segera melakukan demo besar guna menuntut
pembubaran CSIS namun Wiranto melakukan intervensi dengan melarang
demonstrasi. Mengapa Wiranto membantu CSIS? Karena dia adalah orangnya
Benny Moerdani dan bersama Try Soetrisno sempat digadang-gadang oleh
CSIS untuk menjadi cawapres Presiden Soeharto karena CSIS tidak menyukai
BJ Habibie dengan ICMI dan CIDESnya.
Kepanikan CSIS atas semua
kejadian ini terlihat jelas dalam betapa tegangnya rapat konsolidasi
pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta
Timur (dekat lokasi Kasebul) dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas
Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro,
Clara Juwono, Danial Dhakidae dan Fikri Jufri.
Ketegangan
terutama terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab
Kristiadi menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti
Soeharto tapi CSIS malah menjadi sasaran tembak karena ketahuan mendanai
gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan
menggelapkan dana. Tuduhan ini dijawab dengan beberkan penggunaan dana
terutama kepada aktivis “kiri” di sekitar Jabotabek, misalnya Daniel
Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan
berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah
CSIS didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang
setahun terakhir digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat
disepakati bahwa Kristiadi akan menerima dana tambahan Rp. 5 miliar.
Karena kondisi sudah mendesak bagi Benny Moerdani, kakak beradik
Wanandi dan CSIS sehingga mereka memutuskan untuk mempercepat
pelaksanaan kejatuhan Presiden Soeharto memakai rencana yang pernah
didiskusikan di rumah Fahmi Idris pada akhir tahun 1980an yaitu
kerusuhan rasial. Adapun metode kerusuhan akan meniru Malari yang
dilakukan oleh Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dengan diperbantukan
Sofyan Wanandi yang mendanai GUPPI, yaitu massa yang menunggangi demo
mahasiswa UI demi menggulingkan Jenderal Soemitro.
Sekedar
mengingatkan Malari yang terjadi pada tanggal 15 - 16 Januari 1976
adalah kerusuhan dengan menunggangi aksi anti investasi asing oleh
mahasiswa UI atas hasutan Hariman Siregar, orangnya Ali Moertopo.
Kerusuhan mana kemudian membakar Glodok, Sudirman, Matraman, Cempaka
Putih, Roxy, Jakarta-By-Pass, 11 mati, 17 luka parah, 200 luka ringan,
807 mobil hancur atau terbakar, 187 motor hancur atau terbakar, 144 toko
hancur dan 700 kios di Pasar Senen dibakar habis. Ini semua buah tangan
Wanandi bersaudara, Ali Moertopo dan CSISnya.
Masalah yang harus dipecahkan untuk membuktikan bahwa CSIS adalah dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah:
1. Siapa yang membuat rencana dan mendanai (think);
2. Identitas massa perusuh (tank); dan
3. Siapa yang bisa menahan semua pasukan keamanan dan menghalangi perusuh?
2. Identitas massa perusuh (tank); dan
3. Siapa yang bisa menahan semua pasukan keamanan dan menghalangi perusuh?
Ad. 1. Pembuat rencana sudah dapat dipastikan muridnya Ali Moertopo,
dalang Malari, yaitu Benny Moerdani dan Jusuf Wanandi. Sedangkan dana
juga sudah dapat dipastikan berasal Sofyan Wanandi yang meneruskan peran
almarhum Soedjono Hoemardani sebagai donatur semua operasi intelijen
CSIS dan Ali Moertopo.
Benny Moerdani mengendalikan Kerusuhan
13-14 Mei 1998 dari Hotel Ria Diani, Cibogo, Puncak, Bogor. Adapun SiaR
milik Goenawan Mohamad yang tidak lain sekutu Benny Moerdani bertugas
membuat alibi bagi CSIS, antara lain dengan menyalahkan umat muslim
sebagai dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dengan menulis bahwa terdapat
pertemuan tujuh tokoh sipil dan militer pada awal Mei 1998 antara lain
Anton Medan, Adi Sasono, Zainuddin MZ, di mana konon Adi Sasono
menegaskan perlu kerusuhan anti-Cina untuk menghabiskan penguasaan jalur
distribusi yang selama ini dikuasai penguasa keturunan Tionghoa.
Ad. 2. Sampai sekarang massa perusuh tidak diketahui identitasnya namun
dalam sejarah kerusuhan CSIS, penggunaan preman bukan hal baru. Dalam
kasus Malari, CSIS membina dan mengerahkan GUPPI, tukang becak, dan
tukang ojek untuk tujuan menunggangi demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa. Dalam kasus penyerbuan ke Timor Leste, CSIS dan Ali Moertopo
mengirim orang untuk bekerja sama dengan orang lokal melawan Fretilin
sehingga Timor Leste menjadi kisruh yang kemudian menjadi dalih bagi
Benny Moerdani menyerbu Timor-Timur. Begitu juga dalam kasus Kudatuli,
CSIS menggunakan preman dan buruh bongkar muat dari daerah Pasar Induk
Kramat Jati, 200 orang yang terlatih bela diri dari Tangerang, dan lain
sebagainya.
Bahkan setelah reformasi, terbukti Sofyan Wanandi
mendalangi demonstrasi yang menamakan diri Front Pembela Amar Maruf Nahi
Mungkar yang menuntut Kwik Kian Gie mundur karena memiliki saham di PT
Dusit Thani yang bergerak dalam usaha panti pijat ketika pemerintah dan
DPR berniat menuntaskan kredit macet milik kelompok usaha Sofyan Wanandi
sebagaimana diungkap Aberson Marle Sihaloho dan Didik Supriyanto,
keduanya anggota fraksi PDIP. Adapun kredit macet dimaksud adalah hutang
PT Gemala Container milik Sofyan Wanandi kepada BNI sebesar Rp.
92miliar yang dibayar melalui mekanisme cicilan sebesar Rp.
500juta/bulan atau baru lunas 184 tahun kemudian, dan tanpa bunga.
Ad. 3. Adalah fakta tidak terbantahkan bahwa tidak ada tentara selama
kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998, dan bilapun ada, mereka hanya
menyaksikan para perusuh menjarah dan membakar padahal bila saja dari
awal para tentara tersebut bertindak tegas maka dapat dipastikan akan
meminimalisir korban materi dan jiwa. Pertanyaannya apakah hilangnya
negara pada kerusuhan Mei disengaja atau tidak?
Fakta lain yang
tidak terbantahkan adalah Kepala BIA yaitu Zacky Anwar Makarim memberi
pengakuan kepada TGPF bahwa ABRI telah memperoleh informasi akan terjadi
kerusuhan Mei. Namun ketika ditanya bila sudah tahu mengapa kerusuhan
masih terjadi, Zacky menjawab tugas selanjutnya bukan tanggung jawab
BIA. Jadi siapa “user” BIA? Tentu saja Panglima ABRI Jenderal Wiranto
yang berperilaku aneh sebab Jakarta rusuh pada tanggal 13 Mei 1998 dan
pada tanggal 14 Mei 1998 dia membawa KSAD, Danjen Kopassus, Pangkostrad,
KSAU, KSAL ke Malang untuk mengikuti upacara serah terima jabatan
sampai jam 1.30 di mana sekembalinya ke Jakarta, kota ini sudah kembali
terbakar hebat.
Keanehan Wiranto juga tampak ketika malam tanggal
12 Mei 1998 dia menolak usul jam malam dari Syamsul Djalal dan dalam
rapat garnisun tanggal 13 Mei 1998 malam dengan agenda situasi terakhir
ketika dia membenarkan keputusan Kasum Letjend Fahrul Razi menolak
penambahan pasukan untuk Kodam Jaya dengan alasan sudah cukup. Selain
itu Wirantomenolak permintaan Prabowo untuk mendatangkan pasukan dari
Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang dengan cara tidak mau memberi
bantuan pesawat hercules sehingga Prabowo harus mencarter sendiri
pesawat Garuda dan Mandala. Bukan itu saja, tapi KSAL Arief Kusharyadi
sampai harus berinisiatif mendatangkan marinir dari Surabaya karena
tidak ada marinir di markas mereka di Cilandak KKO dan atas jasanya ini,
Wiranto mencopot Arief Kusharyadi tidak lama setelah kerusuhan mereda.
Mengapa Wiranto membiarkan kerusuhan terjadi? Tentu saja karena dia
adalah orangnya Benny Moerdani, dan setelah Soeharto lengser, Wiranto
bekerja sama dengan Benny Moerdani antara lain dengan melakukan reposisi
terhadap 100 perwira ABRI yang dipandang sebagai “ABRI Hijau” dan
diganti dengan perwira-perwira yang dipandang sebagai “ABRI Merah
Putih.”
Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Wiranto bergerak
menekan informasi mengenai terjadinya pemerkosaan massal terhadap wanita
etnis Tionghoa termasuk marah karena pengumuman dari TGPF bahwa terjadi
pemerkosaan selama kerusuhan. Tidak berapa lama, Ita Marthadinata,
relawan yang membantu TGPF dan berumur 17 tahun mati dibunuh di kamarnya
sendiri dengan luka mematikan di leher sedangkan sampai hari ini latar
belakang pembunuhnya yaitu Otong tidak diketahui dan dicurigai dia
adalah binaan intelijen. Kecurigaan semakin menguat sebab beberapa hari
sebelum kejadian, Ita dan keluarganya membuat rencana akan memberikan
kesaksian di Kongres Amerika mengenai temuan mereka terkait korban
Kerusuhan 13-14 Mei 1998.