dakwatuna.com - Hari ini memasuki hari terakhir dari kesepakatan gencatan senjata
Hamas-Israel. Perundingan yang dimediasikan oleh pihak Mesir ini
melahirkan kesepakatan, kedua belah pihak menghentikan kontak senjata
selama 72 jam, terhitung sejak hari Selasa (5/8) pukul 8 pagi.
Pertempuran yang sudah berlangsung selama satu bulan lebih ini, kini
menyisakan puing-puing reruntuhan bangunan di seluruh wilayah Jalur
Gaza, mulai dari rumah warga, masjid, rumah sakit dan sekolah semuanya
tidak luput dari terjangan rudal-rudal Israel.
ilustrasi |
Dan hari ini
merupakan detik-detik terakhir dari kesepakatan gencatan senjata itu,
Jumat (8/8) tepat pukul 8 pagi waktu Jalur Gaza. Semua pihak tentu
bertanya-tanya, akankah perang berlanjut? Ataukah gencatan senjata akan
diperpanjang kembali hingga waktu yang tak ditentukan? Semunya akan
terjawab pada pagi hari ini. Namun yang jelas, pihak Israel sudah
memerintahkan tentaranya untuk menarik diri dari Jalur Gaza. Adapun
pejuang Palestina terkhusus sayap militer Hamas, Izzuddin Al-Qassam,
telah menyatakan diri tidak akan memperpanjang masa gencatan senjata
selama Israel tidak mengabulkan syarat yang sudah mereka usulkan ke
Kairo.
Sederhananya, Israel memegang kunci dari akhir peperangan
ini. Mematuhi keinginan Jalur Gaza, tentu konsekuensinya mereka berada
di posisi pihak yang kalah, namun hal tersebut baik bagi tentara mereka
yang sudah terkuras mentalnya usai bertempur selama satu bulan penuh.
Ini juga baik untuk warga mereka di wilayah pendudukan, setidaknya untuk
sementara waktu mereka bisa terbebas dari ancaman hujan roket dari
pejuang Palestina. Karena misi besar dari agresi ini adalah menghentikan
tembakan roket dari Jalur Gaza ke Israel yang dinilai mengganggu
stabilitas keamanan warganya.
Sedangkan bagi Hamas, gencatan
senjata ataupun tidak itu sama saja. Gencatan senjata diperpanjang jika
pihak Israel mengabulkan permintaan dari Jalur Gaza, dan ini pertanda
kemenangan. Dan jika tidak, maka pertempuran pun siap untuk dilanjutkan,
dan itu bukan masalah bagi Hamas. Muhammad Al-Dhaif sendiri, panglima
perang Brigade Izzuddin Al-Qassam menegaskan, bahwa pasukannya sudah
menyiapkan diri untuk menghadapi perang yang panjang. Mereka juga
menyatakan siap melontarkan setengah juta roket yang disiapkan untuk
menghantam wilayah yang diduduki oleh Israel.
Syarat Gencatan Senjata
Apa
yang disyaratkan pejuang Palestina di Jalur Gaza, merupakan suara dari
warga Gaza itu sendiri, dan permintaan itu sangat sederhana. Tuntutan
yang bersifat manusiawi, mereka hanya ingin diperlakukan layaknya
manusia merdeka seperti umumnya umat manusia di dunia. Ada 2 poin besar
yang disampaikan oleh Abu Ubaidah, jubir Brigade Izzuddin Al-Qassam pada
hari Kamis sore (7/8) kemarin terkait dengan kelanjutan dari gencatan
senjata selama 72 jam ini.
Pertama, mencabut blokade dari
Jalur Gaza. Sejak tersingkirnya Hamas dari Tepi Barat dan terpojok di
Jalur Gaza, wilayah ini diblokade Israel dari berbagai penjuru, baik
darat, laut maupun udara. Dan kondisi ini sudah berlangsung selama 8
tahun. Momen perundingan ini akan dimanfaatkan dengan baik oleh Hamas
untuk mencabut blokade secara total, karena apalah gunanya pertempuran
berakhir namun mereka masih hidup layaknya di dalam penjara.
Kedua, membangun
pelabuhan di Jalur Gaza. Ini merupakan pilihan cerdas dari Hamas. Jalur
Gaza kini memahami betul, Mesir yang merupakan satu-satunya negara yang
berbatasan langsung dari darat, saat ini tidak memberikan sikap yang
positif terhadap Jalur Gaza. Terbukti hingga saat ini Mesir yang
dikuasai oleh pelaku kudeta militer terkesan setengah hati untuk membuka
perbatasan mereka. Para relawan dan bantuan kemanusiaan pun masih
tertahan di perbatasan. Sikap ini menggambarkan Mesir pasca kudeta
militer bukan lagi menjadi negeri yang bisa dijadikan sandaran.
Alternatif
terbaik adalah dengan pembangunan pelabuhan di Jalur Gaza. Dengan
demikian kendati Mesir tidak membuka perbatasan daratnya dengan Jalur
Gaza, bantuan internasional dapat diterima langsung melalui pelabuhan
laut di Jalur Gaza. Ini akan melepaskan ketergantungan terhadap Mesir.
Kedua
pilihan ini tentu merupakan yang terberat bagi Israel. Bahkan mungkin
juga bagi Mesir. Mencabut blokade dari Jalur Gaza sama saja memberi
nafas lega kepada penduduknya, bagi Israel ini tentu menjadi ancaman.
Kalau dalam kondisi terkepung saja, pejuang Palestina dapat
mengembangkan alat tempurnya, seperti roket berjarak tempuh ratusan
kilometer dan juga pesawat pengintai tanpa awak, maka yang terjadi tentu
lebih jauh dari itu ketika blokade secara utuh dicabut dari wilayah
ini.
Terlebih sikap pejuang Palestina terkhusus Hamas, selama ini
komitmen untuk tidak mengakui eksistensi Israel di atas bumi Palestina.
Dengan kata lain, ke depan, apabila blokade dicabut, peta pertempuran
akan berbalik, tidak menutup kemungkinan justru Hamas yang melakukan
agresi militer mengusir Israel dari tanah Palestina yang mereka duduki
selama ini.
Sedangkan bagi Mesir, dibukanya pelabuhan di Jalur
Gaza akan mengurangi peranan Mesir di kawasan. Karena selama ini, para
relawan berbondong-bondong datang ke Mesir dan memohon diberikan izin
masuk ke Jalur Gaza melalui penyeberangan Rafah. Karena negeri ini
merupakan satu-satunya pintu masuk. Namun ini tidak akan berlaku lagi
pasca dibangunnya pelabuhan di Jalur Gaza. Para relawan bisa berangkat
melalui Turki, seperti yang dulu pernah mereka lakukan dengan menumpang
kapal Mavimarmara. Namun kala itu peristiwa tersebut berakhir tragis,
karena kapal mereka dibajak oleh Angkatan Laut Israel sebelum masuk ke
perairan Jalur Gaza.
Sumber: dakwatuna.com