Banyak kalangan menilai persoalan Palestina merupakan persoalan
kemanusiaan, karena seringkali Zionis Israel melakukan serangan terhadap
masyarakat lintas agama, bangsa, dan Ras. Akan tetapi, Bagi kaum
Muslimin, akar persoalan Palestina (sejak Yahudi menjajah Palestina
tahun 1948 hingga hari ini) berawal dari persoalan akidah. Lebih luas
lagi, bersinggungan paling tidak dengan tiga aspek: (1) akidah-syariah Islam; (2) sejarah; (3) politik.
1. ASPEK AKIDAH-SYARIAH
Palestina yang di dalamnya terdapat Al Quds adalah tanah waqaf umat Islam, yang telah mereka warisi semenjak lebih dari 6000 tahun. Hal ini karena: "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif dan muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS Ali Imran: 67)
Dari ayat tersebut sangat jelas disebutkan bahwa Palestina adalah warisan ideologis/akidah, bukan warisan genetis/turunan. Masuknya Musa ke tanah Palestina bukan karena nenek moyangnya orang Palestina, melainkan perintah keimanan dari Allah Ta'ala. “Musa berkata: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu (selama kamu beriman). Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian akan menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah: 21)
Dari sudut pandang ideologis/akidah, bangsa mana pun berhak atas pengelolaan Palestina selama memiliki akar ideologi yang sama dengan ideologi yang diimani Nabi Musa dan nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim. Katakanlah (hai orang-orang Mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa-apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari tuhannya…” (QS Al Baqarah: 136)
Karena itu, Zionis Israel Yahudi tidak memiliki hak waris atas tanah Palestina baik dari Nabi Ibrahim, Nabi Musa, atau Nabi Ya’kub (Israel) yang merupakan nenek moyang mereka. Sebab, Palestina adalah warisan keimanan dan Zionis Israel Yahudi saat ini berada dalam ruang keimanan yang berbeda, bahkan bertentangan dengan pendahulu mereka. “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk Islam.” (QS Al Baqarah: 132)
Bahkan, lebih tegas lagi pernyataan putusnya hubungan (bara’ah) dengan orang-orang yang tidak satu jalan keimanan dinyatakan oleh Nabi Musa ketika terjadi pembangkangan dari bangsa Israel Yahudi. Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS Al Maidah: 25)
Dari sudut pandang keimanan, Palestina adalah warisan Islam. Bukan warisan tiga agama dan peradaban; Islam, Kristen, serta Yahudi yang sering disebutkan mempunyai akar yang sama, yaitu agama Ibrahim. Sebab, Nabi Ibrahim hanya memiliki satu agama, agama Islam. “Ataukah kalian, (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah: "Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?…” (Q.S Al Baqarah: 140). "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif dan muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS Ali Imran: 67)
Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, Tanah Palestina (Syam) adalah tanah milik kaum Muslimin. Di tanah ini berdiri al-Quds, yang merupakan lambang kebesaran umat ini, dan ia menempati posisi yang sangat mulia di mata kaum Muslimin. Ada beberapa keutamaan dan sejarah penting yang dimiliki al-Quds, di antaranya:
Pertama: Tanah wahyu dan kenabian. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Para malaikat membentangkan sayapnya di atas Syam dan para nabi telah membangun Baitul Maqdis (Al-Quds).” Ibnu Abbas menambahkan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Para nabi tinggal di Syam dan tidak ada sejengkal pun kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR at-Tirmidzi)
Kedua: Tanah kiblat pertama. Arah kiblat pertama bagi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslim setelah hijrah ke Madinah adalah Baitul Maqdis (al-Quds) sampai Allah Ta'ala menurunkan wahyu untuk mengubah kiblat ke arah Ka’bah (QS Al Baqarah: 144).
Ketiga: Masjid al-Aqsha adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam dan satu dari tiga masjid yang direkomendasikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk dikunjungi. Beliau bersabda, “Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjid Al-Aqsha” (HR al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Sekali shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah) sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di Masjid al-Aqhsa sama dengan 500 shalat.” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)
2. ASPEK SEJARAH
Sejarah telah mencatat bahwa Syam (Palestina adalah bagian di dalamnya) pernah dikuasai Romawi selama tujuh abad (64 SM-637 M). Namun, berita akan jatuhnya Syam dari imperium Romawi ke tangan kaum Muslimin muncul kala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghancurkan sebuah batu ketika penggalian parit di Madinah dalam rangka menghadapi kaum musyrikin dari Makkah. Ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah Mahabesar. Sungguh telah diberikan kunci Syam kepadaku.”
Tujuan suci untuk merebut Syam dari imperium Romawi terus digelorakan oleh Rasulullah kepada para Sahabat, di antaranya kepada Muadz, pada suatu hari beliau bersabda, “Muadz! Allah Yang Mahakuasa akan membuat kalian sanggup menaklukkan Syam, setelah kematianku…”
Tepat pada tahun ke-8 H sebanyak tiga ribu pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah bergerak menuju Balqa’, salah satu wilayah Syam. Di sana sudah menanti bala tentara Romawi yang berjumlah dua ratus ribu di bawah pimpinan Herqel, seorang kaisar Romawi.
Perjuangan panjang dan melelahkan kaum Muslimin itu baru menuai hasil pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu (638 M).
Namun, setelah dikuasai kaum Muslimin sekian abad hingga masa Kekhilafahan Abbasiyah, tanggal 25 November 1095, Paulus Urbanus II menyerukan Perang Salib dan tahun 1099 pasukan Salib berhasil menaklukkan al-Quds. Mereka membantai sekitar 30.000 warga al-Quds dengan sadis tanpa pandang bulu termasuk wanita, anak-anak dan orang tua di dalamnya.
Namun, alhamdulillah pada tahun 1187 M, Salahuddin al-Ayyubi sebagai komandan pasukan Muslim berhasil membebaskan kembali al-Quds dari pasukan Salib yang telah diduduki selama sekitar 87 tahun (1099–1187).
Bila kita melihat sejarah sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Zionis Israel Yahudi juga tidak memiliki akar sejarah sebagai penduduk asli Palestina. Kedatangan mereka ke tanah Palestina pada permulaan akhir periode sebelum lahirnya Isa bin Maryam sampai permulaan masehi bukanlah sebagai pemilik, tetapi sebagai imigran dari Mesir, begitu juga kedatangan mereka ke tanah Palestina saat ini yang berujung pada kolonialisasi.
Sebelum masuknya bangsa Israel, Palestina telah dihuni oleh bangsa Kanaan yang merupakan nenek moyang bangsa Arab Palestina saat ini. Ini disebutkan dalam Kitab Bilangan XIII ayat 17-18: “Maka Musa menyuruh mereka mengintai tanah Kana’an dan mengamat-amati keadaaan negeri itu; apakah bangsa yang mendiaminya kuat atau lemah, apakah mereka sedikit atau banyak.”
Pernyataan serupa juga diceritakan dalam Al-Qur’an. Bahkan Al Qur’an menyebutkan bahwa bangsa Israel itu tidak layak atas tanah Palestina karena perilaku mereka sendiri: “Musa berkata: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan bagimu (selama kamu beriman). Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian akan menjadi orang-orang yang merugi...Mereka berkata: Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa (bangsa kanaan). Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar. Jika mereka keluar, pasti kami akan memasukinya. Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut kepada Allah yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: Serbulah mereka melalui pintu gerbang kota ini. Maka bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman. Mereka berkata: Hai Musa, sekali-kali kami tidak akan memasukinya selamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya akan duduk menanti di sini saja. Berkata Musa: Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara aku dan orang-orang yang fasik itu. Allah berfirman: (jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. Lalu, selama itu mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu, maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang fasik itu. (QS Al Maidah: 21-26)
Dalam sejarah Palestina, negeri itu pernah jatuh ke tangan Bangsa Israel Yahudi pada permulaan Masehi. Namun, pada tahun 70 M, kekuasan bangsa Israel itu runtuh seiring kematian Herodes dan masuknya kekuatan Romawi menguasai seluruh Palestina. Sejak itu bangsa Israel Yahudi menjadi bangsa yang tidak memiliki tanah air dan tersebar di berbagai negara sampai mereka melakukan kolonialisasi kembali atas Palestina pada tahun 1967 M. Sementara itu, tanah Palestina menjadi tanah wakaf umat Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pada abad 7 M setelah Romawi ditaklukkan tentara Islam.
Dalam hukum internasional dinyatakan bahwa yang berdaulat atas suatu wilayah adalah mereka yang pertama kali mendiami wilayah tersebut dan menunjukkan bukti eksistensi mereka atas wilayah tersebut berupa aktivitas dan bukti-bukti fisik yang menunjukkan kedaulatan mereka atas wilayah tersebut. Karena itu, bangsa Kana’an yang merupakan nenek moyang Arab Palestina saat ini adalah pemilik sah tanah Palestina.
3. ASPEK POLITIK
Aspek politik dari isu Palestina ini tidak bisa dilepaskan dari zionisme dan imperialisme Barat. Zionisme adalah gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara khusus bagi komunitas mereka di Palestina. Theodore Hertzl merupakan tokoh utama yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya berjudul Der Judenstaad’ (The Jewish State). Secara nyata, gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi Internasional di Basel (Swiss) tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi zionis yang terpencar di seluruh dunia.
Sebagai gerakan politik, zionisme memerlukan kendaraan politik. Zionisme lalu menjadikan Kapitalisme sebagai kendaraan politiknya. Zionisme ternyata berhasil menuai berbagai keuntungan politis berkat dukungan imperialisme Barat sejak dimulainya imperialisme tersebut hingga saat ini.
Dua aspek setelah persoalan aqidah di atas tersebut pun jika ingin ditimbang dengan syari’at, bermuara pula pada persoalan akidah. Sebab persoalan sejarah dan hak kepemilikan tanah serta persoalan politik menyangkut persoalan akidah umat Islam, dimana sejengkal tanah kaum muslimin dizhalimi menjadi faktor pemicu disahkannya hukum Jihad menjadi fardhu ‘ain dalam pembahasan fikih oleh para ulama.
Wallahualam
Konflik Gaza |
Palestina yang di dalamnya terdapat Al Quds adalah tanah waqaf umat Islam, yang telah mereka warisi semenjak lebih dari 6000 tahun. Hal ini karena: "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif dan muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS Ali Imran: 67)
Dari ayat tersebut sangat jelas disebutkan bahwa Palestina adalah warisan ideologis/akidah, bukan warisan genetis/turunan. Masuknya Musa ke tanah Palestina bukan karena nenek moyangnya orang Palestina, melainkan perintah keimanan dari Allah Ta'ala. “Musa berkata: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu (selama kamu beriman). Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian akan menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah: 21)
Dari sudut pandang ideologis/akidah, bangsa mana pun berhak atas pengelolaan Palestina selama memiliki akar ideologi yang sama dengan ideologi yang diimani Nabi Musa dan nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim. Katakanlah (hai orang-orang Mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa-apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari tuhannya…” (QS Al Baqarah: 136)
Karena itu, Zionis Israel Yahudi tidak memiliki hak waris atas tanah Palestina baik dari Nabi Ibrahim, Nabi Musa, atau Nabi Ya’kub (Israel) yang merupakan nenek moyang mereka. Sebab, Palestina adalah warisan keimanan dan Zionis Israel Yahudi saat ini berada dalam ruang keimanan yang berbeda, bahkan bertentangan dengan pendahulu mereka. “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk Islam.” (QS Al Baqarah: 132)
Bahkan, lebih tegas lagi pernyataan putusnya hubungan (bara’ah) dengan orang-orang yang tidak satu jalan keimanan dinyatakan oleh Nabi Musa ketika terjadi pembangkangan dari bangsa Israel Yahudi. Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS Al Maidah: 25)
Dari sudut pandang keimanan, Palestina adalah warisan Islam. Bukan warisan tiga agama dan peradaban; Islam, Kristen, serta Yahudi yang sering disebutkan mempunyai akar yang sama, yaitu agama Ibrahim. Sebab, Nabi Ibrahim hanya memiliki satu agama, agama Islam. “Ataukah kalian, (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah: "Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?…” (Q.S Al Baqarah: 140). "Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif dan muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS Ali Imran: 67)
Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, Tanah Palestina (Syam) adalah tanah milik kaum Muslimin. Di tanah ini berdiri al-Quds, yang merupakan lambang kebesaran umat ini, dan ia menempati posisi yang sangat mulia di mata kaum Muslimin. Ada beberapa keutamaan dan sejarah penting yang dimiliki al-Quds, di antaranya:
Pertama: Tanah wahyu dan kenabian. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Para malaikat membentangkan sayapnya di atas Syam dan para nabi telah membangun Baitul Maqdis (Al-Quds).” Ibnu Abbas menambahkan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Para nabi tinggal di Syam dan tidak ada sejengkal pun kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR at-Tirmidzi)
Kedua: Tanah kiblat pertama. Arah kiblat pertama bagi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslim setelah hijrah ke Madinah adalah Baitul Maqdis (al-Quds) sampai Allah Ta'ala menurunkan wahyu untuk mengubah kiblat ke arah Ka’bah (QS Al Baqarah: 144).
Ketiga: Masjid al-Aqsha adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam dan satu dari tiga masjid yang direkomendasikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk dikunjungi. Beliau bersabda, “Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjid Al-Aqsha” (HR al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Sekali shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah) sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di Masjid al-Aqhsa sama dengan 500 shalat.” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)
2. ASPEK SEJARAH
Sejarah telah mencatat bahwa Syam (Palestina adalah bagian di dalamnya) pernah dikuasai Romawi selama tujuh abad (64 SM-637 M). Namun, berita akan jatuhnya Syam dari imperium Romawi ke tangan kaum Muslimin muncul kala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghancurkan sebuah batu ketika penggalian parit di Madinah dalam rangka menghadapi kaum musyrikin dari Makkah. Ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah Mahabesar. Sungguh telah diberikan kunci Syam kepadaku.”
Tujuan suci untuk merebut Syam dari imperium Romawi terus digelorakan oleh Rasulullah kepada para Sahabat, di antaranya kepada Muadz, pada suatu hari beliau bersabda, “Muadz! Allah Yang Mahakuasa akan membuat kalian sanggup menaklukkan Syam, setelah kematianku…”
Tepat pada tahun ke-8 H sebanyak tiga ribu pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah bergerak menuju Balqa’, salah satu wilayah Syam. Di sana sudah menanti bala tentara Romawi yang berjumlah dua ratus ribu di bawah pimpinan Herqel, seorang kaisar Romawi.
Perjuangan panjang dan melelahkan kaum Muslimin itu baru menuai hasil pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu (638 M).
Namun, setelah dikuasai kaum Muslimin sekian abad hingga masa Kekhilafahan Abbasiyah, tanggal 25 November 1095, Paulus Urbanus II menyerukan Perang Salib dan tahun 1099 pasukan Salib berhasil menaklukkan al-Quds. Mereka membantai sekitar 30.000 warga al-Quds dengan sadis tanpa pandang bulu termasuk wanita, anak-anak dan orang tua di dalamnya.
Namun, alhamdulillah pada tahun 1187 M, Salahuddin al-Ayyubi sebagai komandan pasukan Muslim berhasil membebaskan kembali al-Quds dari pasukan Salib yang telah diduduki selama sekitar 87 tahun (1099–1187).
Bila kita melihat sejarah sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Zionis Israel Yahudi juga tidak memiliki akar sejarah sebagai penduduk asli Palestina. Kedatangan mereka ke tanah Palestina pada permulaan akhir periode sebelum lahirnya Isa bin Maryam sampai permulaan masehi bukanlah sebagai pemilik, tetapi sebagai imigran dari Mesir, begitu juga kedatangan mereka ke tanah Palestina saat ini yang berujung pada kolonialisasi.
Sebelum masuknya bangsa Israel, Palestina telah dihuni oleh bangsa Kanaan yang merupakan nenek moyang bangsa Arab Palestina saat ini. Ini disebutkan dalam Kitab Bilangan XIII ayat 17-18: “Maka Musa menyuruh mereka mengintai tanah Kana’an dan mengamat-amati keadaaan negeri itu; apakah bangsa yang mendiaminya kuat atau lemah, apakah mereka sedikit atau banyak.”
Pernyataan serupa juga diceritakan dalam Al-Qur’an. Bahkan Al Qur’an menyebutkan bahwa bangsa Israel itu tidak layak atas tanah Palestina karena perilaku mereka sendiri: “Musa berkata: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan bagimu (selama kamu beriman). Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian akan menjadi orang-orang yang merugi...Mereka berkata: Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa (bangsa kanaan). Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar. Jika mereka keluar, pasti kami akan memasukinya. Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut kepada Allah yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: Serbulah mereka melalui pintu gerbang kota ini. Maka bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman. Mereka berkata: Hai Musa, sekali-kali kami tidak akan memasukinya selamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya akan duduk menanti di sini saja. Berkata Musa: Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara aku dan orang-orang yang fasik itu. Allah berfirman: (jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. Lalu, selama itu mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu, maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang fasik itu. (QS Al Maidah: 21-26)
Dalam sejarah Palestina, negeri itu pernah jatuh ke tangan Bangsa Israel Yahudi pada permulaan Masehi. Namun, pada tahun 70 M, kekuasan bangsa Israel itu runtuh seiring kematian Herodes dan masuknya kekuatan Romawi menguasai seluruh Palestina. Sejak itu bangsa Israel Yahudi menjadi bangsa yang tidak memiliki tanah air dan tersebar di berbagai negara sampai mereka melakukan kolonialisasi kembali atas Palestina pada tahun 1967 M. Sementara itu, tanah Palestina menjadi tanah wakaf umat Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pada abad 7 M setelah Romawi ditaklukkan tentara Islam.
Dalam hukum internasional dinyatakan bahwa yang berdaulat atas suatu wilayah adalah mereka yang pertama kali mendiami wilayah tersebut dan menunjukkan bukti eksistensi mereka atas wilayah tersebut berupa aktivitas dan bukti-bukti fisik yang menunjukkan kedaulatan mereka atas wilayah tersebut. Karena itu, bangsa Kana’an yang merupakan nenek moyang Arab Palestina saat ini adalah pemilik sah tanah Palestina.
3. ASPEK POLITIK
Aspek politik dari isu Palestina ini tidak bisa dilepaskan dari zionisme dan imperialisme Barat. Zionisme adalah gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara khusus bagi komunitas mereka di Palestina. Theodore Hertzl merupakan tokoh utama yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya berjudul Der Judenstaad’ (The Jewish State). Secara nyata, gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi Internasional di Basel (Swiss) tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi zionis yang terpencar di seluruh dunia.
Sebagai gerakan politik, zionisme memerlukan kendaraan politik. Zionisme lalu menjadikan Kapitalisme sebagai kendaraan politiknya. Zionisme ternyata berhasil menuai berbagai keuntungan politis berkat dukungan imperialisme Barat sejak dimulainya imperialisme tersebut hingga saat ini.
Dua aspek setelah persoalan aqidah di atas tersebut pun jika ingin ditimbang dengan syari’at, bermuara pula pada persoalan akidah. Sebab persoalan sejarah dan hak kepemilikan tanah serta persoalan politik menyangkut persoalan akidah umat Islam, dimana sejengkal tanah kaum muslimin dizhalimi menjadi faktor pemicu disahkannya hukum Jihad menjadi fardhu ‘ain dalam pembahasan fikih oleh para ulama.
Wallahualam