Beritasatu.com - Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri)
mengatakan tidak punya kemampuan untuk mencetak uang pecahan Rp 100 ribu
dan Rp 50 ribu pada 1999. Sebab, Peruri tak mempunyai kapasitas teknis
yang memadai.
Ilustrasi Uang Kertas |
Kala itu, Bank Indonesia (BI) selaku pemegang kekuasaan memesan
pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu dari Australia,
dengan alasan tidak ada fasilitas di dalam negeri terutama untuk bahan
baku uang berupa plastik (polimer).
"Saya bicara sesuai dengan dokumen Peruri bukan sebagai saksi mata
karena saya baru menjabat sebagai Dirut dua tahun lalu. Memang saat 1999
kami (Peruri) tidak mempunyai kemampuan untuk dapat mencetak uang dan
kedua kapasitas teknis kami juga tidak mampu," ujarnya Direktur Utama
Peruri, Prasetio, seperti dikutip Radio Republik Indonesia Jumat (1/8) dinihari.
Menurut dia, 1999 kebutuhan uang beredar meningkat signifikan. Bank
Indonesia diharuskan menambah kebutuhan uang. Karena Peruri tidak
mempunyai kemampuan yang memadai, maka Bank Indonesia memesan uang ke
negera terdekat.
"Ini orderan reguler Bank Indonesia, karena saat itu tahun 1999 ke
2000 masuknya era milenium jadi kebutuhan uang sangat banyak, maka BI
memesan ke Australia karena dinilai paling dekat dengan Indonesia,"
jelas dia.
Meski begitu, kata dia, Peruri tidak mengabaikan kualitas uang
cetakan Australia tersebut. Pihaknya tetap mengawasi apakah uang
tersebut memang layak edar di Tanah Air.
"Kami tetap mengawasinya meski cetakan dari Australia," ungkapnya.
Sebelumnya, Situs WikiLeaks, kembali membocorkan kasus percetakan
uang di Australia melibatkan para petinggi beberapa negara. Mereka
termasuk yang sebutkan adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
mantan presiden Megawati Soekarnoputri.
Dalam pemberitaan 2010, Bank Indonesia menyatakan terpaksa mengorder
pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu dari Australia,
dengan alasan tidak ada fasilitas di dalam negeri terutama untuk bahan
plastik (polimer).
Pencetakan uang pecahan menggunakan bahan polimer hanya berlangsung
beberapa tahun. Setelah itu balik lagi pencetakan uang pecahan Rp 100
ribu dan Rp 50 ribu menggunakan bahan kertas.
Harian The Age Australia pernah melansir berita terkait,
korespondensi perwakilan perusahaan Reserve Bank of Australia (RBA) atau
otoritas pencetak uang australia atau bank sentral Australia di
Jakarta. Dalam pemberitaannya, ada dugaan suap pada pejabat Bank
Indonesia dari pejabat Securency International.
Pejabat BI, dalam pemberitaan tersebut, diduga meminta sejumlah uang
suap itu sebagai komitmen kesepakatan dengan pejabat BI untuk
memenangkan kontrak pencetakan 500 juta lembar pecahan Rp 100 ribu.
Sumber: Beritasatu.com