Gemericik air mengalir melalui banda di pekarangan rumah. Alirannya kecil bak ula lidih mambalik Nagari Koto Anau , Kecamatan Lembang Jaya , Kabupaten Solok. Berhulu di Danau Dibawah lalu bermuara di Danau Singkarak. Bagai air mengalir perjalanan bisa membawa kita kemana saja. Seperti saat ini, saya berhenti di depan rumah tua dekat Kantor Wali Nagari Koto Gadang Koto Anau dan mengurungkan niat ke Istana Baso Pagaruyung. Terpesona keindahan ukiran di dinding rumah gadang. Terinspirasi salah satu objek Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia.
Wanita penunggu rumah beratap Gajah Maharam ini bercerita Koto Anau dikenal dengan nagari seribu rumah gadang. Dahalu orang-orang di sini sangatlah berjaya dari bertani cengkeh. Sejak penyakit “Mati Bujang” dan “Mati Gadis” menyerang tanaman cengkeh tahun 70an. Orang-orang Koto Anau merantau dan meninggalkan rumah mereka yang megah. Seperti rumah yang ditempatinya sekarang. Pemilik dan keturunannya tidak lagi menetap Koto Anau. Menjelang hari raya Idul Fitri mereka pulang.Uniknya rumah gadang di Koto Anau semuanya menghadap ke Gunung Talang. Masyarakat meyakini Gunung Talang merupakan sumber rejeki dan rejeki itu mengalir dari gunung ke Kota Solok. Seperti sebuah kiasan yang berbunyi “tikalak madok ka hilie, manurun ka balai lurah.” Sebelum agama Islam masuk masyarakat menganggap puncak gunung Talang merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewi, sebagaimana Gunung Merapi yang sangat dihormati oleh masyarakat Luhak Tanah Datar.
Rasa penasaran membawa langkah menyusuri jalan, menyambangi rumah kayu nan elok bermotif ukir kaluak paku kacang balimbing. Tak ada jawaban salam sang empu. Toni, pria pemilik warung di depan rumah berujar, rumah di depan sudah lama kosong. Benar-benar kosong tidak ada yang menunggui. Saya beristirahat sejenak di warung Toni yang pernah merantau lalu kembali ke tanah kelahirannya. Lelaki muda ini bercerita di Kampung Dalam terdapat istana raja Koto Anau yang usianya hampir sama dengan Istana Baso Pagaruyung. Tidak banyak informasi tentang kerajaan Koto Anau yang bisa didapat. Hanya keturuan kerajaan Koto Anau pernah menjadi wali nagari , Mohammad Saleh Dt Bagindo Yang Dipatuan (1902-1920) dan Thaher Dt Bagindo Yang Dipatuan (1946-1948). Tidak ada rumah gadang di jalan yang ditunjukan Toni, hanya sudut gonjong atap rumah gadang tua menyembul dari balik pagar tinggi. Di atasnya tertulis 24 Januari 1963 – 27 Sja’bani 1382. Nampaknya harus berputar untuk mencapai bagian depan rumah . Setelah beberapa kali mengitari rumah warga terlihat rumah gadang beratap Gonjong Ampek Sibak Baju. Tulisan “Bagindo Yang Dipatuan” di dinding serambi depan meyakinkan inilah istana yang dicari. Bagindo Yang Dipatuan merupakan gelar keturunan raja Koto Anau.
Kerajaan Koto Anau telah ada sejak abad ke 12 , di masa pemerintahan Pitalo Jombang yang menikah dengan Puti Sari Mayang yang merupakan kerabat Raja Melayu dari Jambi. Dalam buku “Koto Anau Dalam Tinjauan Historis dan Wisata” karangan Zusneli Zubir dinyatakan Raja Pagaruyung dan Raja Koto Anau memiliki hubungan kekerabatan , keduanya keturunan Kerajaan Melayu. Istana Koto Anau benar-benar sepi tanpa penghuni. Tidak ada orang dewasa yang bisa diminta keterangan. Beberapa anak kecil bermain di halaman rumah. Salah satunya bercerita bahwa rumah ini pernah digunakan syuting reality show menguji keberanian peserta di tempat yang dianggap angker.
Bagian depan bangunan memiliki model Surambi Aceh Bergonjong Tunggal dengan tangga di kedua sisi. Serambi depan digunakan untuk menerima tamu bukan orang minang . Zaman dulu orang asing (bule) tidak diperbolehkan (tabu) masuk ke rumah gadang atau adat. Pesona ukiran warna-warna menjadi ciri khas rumah gadang. Motif Kuciang Lalok Jo Saik Galami menjadi ornamen daun jendela, sedangkan dindingnya bermotif Si Kumbang Manih. Serambi berlantai tegel dengan hiasan keramik warna-warni. Tepat di bawah tulisan “Bagindo Yang Dipatuan” tertempel keramik bermotif bunga merah jambu.
Aura mistis terasa memasuki ruang tanpa sekat dengan pilar dan lantai kayu. Suasana terasa dingin meskipun cahaya matahari masuk melalui jendela. Meja dan kursi di tengah ruangan seolah telah lama menanti pemiliknya. Di sudut kiri ruangan teronggok peti dan beberapa perkakas sisa kemasyuran Istana Koto Anau. Gong dan nampan kuningan terdiam sepi tanpa kemilau dimakan waktu. Saya tidak pernah menyangka perjalanan dan rasa penasaran menuntun ke istana di Nagari Seribu Rumah Gadang. Sebuah mahakarya Indonesia yang nyaris terlupakan. Namun akhirnya membangkitkan seribu pertanyaan , membuat langkah semakin jauh menyusuri bumi Minangkaba
Mengenal Kerajaan Koto Nan Anam di Nagari Koto Anau |
Rasa penasaran membawa langkah menyusuri jalan, menyambangi rumah kayu nan elok bermotif ukir kaluak paku kacang balimbing. Tak ada jawaban salam sang empu. Toni, pria pemilik warung di depan rumah berujar, rumah di depan sudah lama kosong. Benar-benar kosong tidak ada yang menunggui. Saya beristirahat sejenak di warung Toni yang pernah merantau lalu kembali ke tanah kelahirannya. Lelaki muda ini bercerita di Kampung Dalam terdapat istana raja Koto Anau yang usianya hampir sama dengan Istana Baso Pagaruyung. Tidak banyak informasi tentang kerajaan Koto Anau yang bisa didapat. Hanya keturuan kerajaan Koto Anau pernah menjadi wali nagari , Mohammad Saleh Dt Bagindo Yang Dipatuan (1902-1920) dan Thaher Dt Bagindo Yang Dipatuan (1946-1948). Tidak ada rumah gadang di jalan yang ditunjukan Toni, hanya sudut gonjong atap rumah gadang tua menyembul dari balik pagar tinggi. Di atasnya tertulis 24 Januari 1963 – 27 Sja’bani 1382. Nampaknya harus berputar untuk mencapai bagian depan rumah . Setelah beberapa kali mengitari rumah warga terlihat rumah gadang beratap Gonjong Ampek Sibak Baju. Tulisan “Bagindo Yang Dipatuan” di dinding serambi depan meyakinkan inilah istana yang dicari. Bagindo Yang Dipatuan merupakan gelar keturunan raja Koto Anau.
Kerajaan Koto Anau telah ada sejak abad ke 12 , di masa pemerintahan Pitalo Jombang yang menikah dengan Puti Sari Mayang yang merupakan kerabat Raja Melayu dari Jambi. Dalam buku “Koto Anau Dalam Tinjauan Historis dan Wisata” karangan Zusneli Zubir dinyatakan Raja Pagaruyung dan Raja Koto Anau memiliki hubungan kekerabatan , keduanya keturunan Kerajaan Melayu. Istana Koto Anau benar-benar sepi tanpa penghuni. Tidak ada orang dewasa yang bisa diminta keterangan. Beberapa anak kecil bermain di halaman rumah. Salah satunya bercerita bahwa rumah ini pernah digunakan syuting reality show menguji keberanian peserta di tempat yang dianggap angker.
Bagian depan bangunan memiliki model Surambi Aceh Bergonjong Tunggal dengan tangga di kedua sisi. Serambi depan digunakan untuk menerima tamu bukan orang minang . Zaman dulu orang asing (bule) tidak diperbolehkan (tabu) masuk ke rumah gadang atau adat. Pesona ukiran warna-warna menjadi ciri khas rumah gadang. Motif Kuciang Lalok Jo Saik Galami menjadi ornamen daun jendela, sedangkan dindingnya bermotif Si Kumbang Manih. Serambi berlantai tegel dengan hiasan keramik warna-warni. Tepat di bawah tulisan “Bagindo Yang Dipatuan” tertempel keramik bermotif bunga merah jambu.
Aura mistis terasa memasuki ruang tanpa sekat dengan pilar dan lantai kayu. Suasana terasa dingin meskipun cahaya matahari masuk melalui jendela. Meja dan kursi di tengah ruangan seolah telah lama menanti pemiliknya. Di sudut kiri ruangan teronggok peti dan beberapa perkakas sisa kemasyuran Istana Koto Anau. Gong dan nampan kuningan terdiam sepi tanpa kemilau dimakan waktu. Saya tidak pernah menyangka perjalanan dan rasa penasaran menuntun ke istana di Nagari Seribu Rumah Gadang. Sebuah mahakarya Indonesia yang nyaris terlupakan. Namun akhirnya membangkitkan seribu pertanyaan , membuat langkah semakin jauh menyusuri bumi Minangkaba